Rabu, 21 November 2007

STPDN Tempat Kuliahnya Para Preman


Mahasiswa STPDN Tewas Dianiaya Para Seniornya

BERI OLEH-OLEH IBUNYA DENGAN GAJI PERTAMA
Download file ini dulu donk Sebenarnya mahasiswa STPDN ini melaksanakan semua tugas yang dibebankan kepadanya. Namun karena ada teman satu angkatan yang tidak membuat tugas, ia jadi ikut kena hukuman dari seniornya. Dan hukuman tersebut berbuah kematian. Ratusan warga memadati pemakaman keluarga di Kampung Kambing, Citeureup, Bogor, Sabtu (5/9). Mereka ingin menyaksikan autopsi jenazah Wahyu Hidayat (21), mahasiswa (praja) tingkat 2 Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor, Jawa Barat yang tewas setelah dianiaya seniornya. Namun hiruk pikuk warga tersebut tak membuat Ny. Rosadah (40), ibu Wahyu tertarik. Ia memilih mengurung diri di rumah. "Saya tidak kuat menyaksikannya. Biarlah bapaknya yang mengurus di sana," ujar ibu empat anak ini. Sepanjang hari itu Rosadah hanya duduk termangu di atas tikar yang digelar di ruang tamu.
Pandangannya kosong, seakan tak peduli banyaknya orang yang lalu-lalang di depan rumahnya. Guratan kesedihan masih tampak di wajahnya. Apalagi jika ada tamu yang datang mengucapkan bela sungkawa. KERAP KEHILANGAN KAUS Banyak kenangan indah yang belum mampu terhapuskan dari benak Rosadah. "Dia anaknya pintar. Dari TK hingga SMU selalu juara," kisah Rosidah. "Sebagai orang tua tentu saya bangga. Apalagi kalau lihat nilai rapornya selalu baik," tandas Rosidah. Selepas SMU Wahyu mendapat dua pilihan masuk perguruan tinggi tanpa proses seleksi, IPB Bogor dan Universitas Islam, Jombang. Sebenarnya Syarif Hidayat (49), ayah menginginkan Wahyu kuliah di Jombang. Tapi Rosadah minta anaknya memilih IPB. "Alasannya, biar saban akhir pekan bisa pulang." Wahyu sebenarnya juga sempat mendaftar SPN di Sukabumi. "Tapi umurnya masih kurang dua minggu. Jadi tidak lulus seleksi." Wahyu akhirnya memilih kuliah di Fakultas Peternakan IPB . Saat semester 4, ayahnya menyarankan, Wahyu mendaftar STPDN. "Memang sih, lulus IPB punya gelar insinyur. Tapi, kan, masih cari kerjaan. Sementara kalau di STPDN, pasti dapat pekerjaan. Bahkan kuliah pun sudah digaji," jelas Syarif. Wahyu pun menuruti anjuran ayahnya. "Kami bangga sekali saat ia bisa lolos seleksi. Soalnya masuk STPDN tidaklah mudah. Dari 1.500 pelamar asal Jawa Barat yang diterima cuma 70 orang." Soal aturan kampus yang sangat disiplin, keluarga Wahyu juga memaklumi. "Setahun ia hanya boleh pulang dua kali. Saat Lebaran dan Tahun Baru." Justru keluarganya yang sering membesuk Wahyu. "Kami hanya bisa ketemu di masjid. Itu pun hanya sebentar," jelas Syarif seraya menambahkan anaknya sudah mulai terbiasa dengan aturan yang diterapkan kampusnya. Kalau toh ada yang dikeluhkan anaknya, hanya soal rawannya "pencurian" di kampusnya. "Ia sering kehilangan kaus, sepatu, baju, dan celana." Syarif menduga, semua ini terjadi karena mereka sering diburu-buru waktu. "Misalnya saat apel pagi, ada saja mahasiswa yang sembarangan memakai sepatu atau kaus entah milik siapa." Gara-gara sering kehilangan, Wahyu jadi kerap berantem dengan teman-temannya. "Dia jengkel lantaran sepatunya tiba-tiba hilang. Atau kaus dan sempak yang raib. Itu yang ia keluhkan selama tinggal di asrama." Selain itu, ia juga sering kena hukuman jika ia terlambat melakukan sesuatu atau melakukan kesalahan. "Hukumannya katanya berat. Dia bilang, kalau tidak, ingat, orang tua, rasanya ingin kabur saja." DAPAT GAJI PERTAMA Tanggal 14 Agustus 2003 Wahyu mendapat cuti tahunan selama 2 minggu.
Hari itu menjadi paling berkesan bagi keluarga Syarif. "Ketika datang, wajahnya berseri-seri. Seperti biasanya ia, memeluk saya baru menurunkan buah tangannya berupa minuman ringan dan cokelat. Baru kali ini memang dia bawa oleh-oleh," jelas Ny. Rosadah. Rupanya bulan itu ia mendapat gaji pertama. "Tapi besarnya berapa saya tidak tahu. Dia cuma bilang, cukup untuk hidup sebulan," jelas Rosadah. Selama di rumah, selain membantu kakaknya mengirim peralatan pesta, dia bermain dengan Sofia, adiknya paling bontot. Wahyu kelihatan paling sayang sama Sofia, Mungkin karena Sofia satu-satunya perempuan. Baru dua hari di rumah, (16/8) dia kembali ke Bandung. Katanya, untuk mengikuti apel kemerdekaan di Lapangan Gasebu Bandung bersama rekan-rekannya seangkatan. Seusai dari Bandung, ia kembali lagi ke Citeureup hingga masa cuti habis (30/9). Selain membantu kakaknya, selama cuti, Wahyu banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku. "Hobinya memang membaca buku dan main komputer," jelas Rosadah. Wahyu juga aktif di kegiatan agama di kampung maupun kampusnya. "Tahun lalu dia malah kepilih menjadi koordinator pengiriman hewan kurban ke Bandung." Saat Wahyu akan pulang ke Bandung, Syarif dan Rosadah mengantar anaknya hingga Pintu Tol Cileungsi.

Tidak ada komentar: