Rabu, 14 Oktober 2015
Rabu, 21 November 2007
Preman Tolol Serang Sekolah
Puluhan Anggota Geng Motor Serbu SMAN 5
Anak Kapolsekta Sumur Bandung Menjadi Korban
BANDUNG, (PR).-
Tiga orang yang mengalami luka di antaranya Iqbal Nasution (18), Fajar Wahadiat (18), dan Bobby Muhammad Zulfikar (18). Ketiganya siswa kelas II di SMAN 5. Korban Iqbal mengalami luka bocor di bagian belakang kepalanya sehingga mendapat tiga jahitan saat dirawat di RS Halmahera.
Sementara Fajar, mendapat luka sabetan di pelipis kirinya. Hingga kini Fajar masih dirawat di RS Mata Cicendo karena lukanya tersebut juga sampai ke mata kiri. Sedangkan Bobby, putra Kapolsekta Sumur Bandung AKP Hanafi mengalami luka memar di wajahnya karena terkena pukulan.
Selain itu, aksi brutal sekira 60 anggota geng motor itu, juga merusak sebuah mobil Hyundai Atoz D 1103 FP warna hijau tua, milik Rifa Mutia. Kaca belakang dan spion kiri mobil hancur setelah dilempari batu oleh anggota geng motor.
Menurut keterangan para korban kepada petugas, peristiwa tersebut terjadi pukul 14.30 WIB. Para siswa saat itu sedang asyik nongkrong di kantin samping sekolah, yangmenghadap ke Jln. Bali.
Tiba-tiba terdengar raungan keras knalpot motor mendekati kantin. Rupanya suara tersebut berasal dari sekira 30 motor. Mereka lalu berhenti di samping kantin sembari mengeluarkan kata-kata umpatan yang menghina SMAN 5.
Awalnya, anak-anak tidak terprovokasi dan tetap di dalam kantin. Hal itu membuat anggota geng motor kian berang. Mereka turun dari motor lalu melempari dan merusak mobil milik Rifa yang diparkir di sisi jalan. Para pedagang yang berjualan di pinggir Jln. Bali, lalu berteriak-teriak dan memberi tahu siswa SMAN 5 bahwa geng motor merusak sebuah mobil. Hal ini membuat para siswa SMAN 5 terpancing emosinya dan berhamburan ke luar mengejar para anggota geng motor. ”Asalnya kami diam saja, tapi begitu para pedagang bilang bahwa mereka (geng motor red.) merusak mobil, saya dan teman-teman langsung ke luar,” tutur Iqbal.
Aksi saling lempar batu pun tak terhindari. Situasi kini berbalik. Para geng motor terdesak. Dua orang anggota geng motor tersebut sempat tertangkap oleh para siswa dan tak ayal menjadi bulan-bulanan anak-anak SMAN 5.
Beruntung tidak lama kemudian petugas dari Polsekta Sumur Bandung dan Kapolsek AKP Hanafi tiba di lokasi. Petugas langsung menggiring dua anggota geng motor,Yud (18) warga Maleber Utara Kec. Andir, dan LYS (18) warga Maleper Inpres I Kec. Andir, ke Mapolsekta Sumur Bandung. Sebuah motor Yamaha Jupiter milik salah satu tersangka, juga dibawa petugas sebagai barang bukti.
Kepada petugas, kedua tersangka mengaku dirinya tidak tahu menahu akan dibawa ke SMAN 5. ”Saya diajak ikut konvoi. Katanya mau ke Lembang, tapi pas sampai SMAN 5, teman-teman berhenti. Dan terjadilah peristiwa tadi,” tutur Yud kepada petugas.
Kedua tersangka masih bungkam ketika ditanya alasan penyerangan tersebut. Keduanya pun mengaku bukan anggota geng motor. Inilah ciri khas para anggota geng motor. Mereka sangat kuat dalam aksi GTM (gerakan tutup mulut) demi melindungi rekan-rekan lainnya.
Menurut AKP Hanafi, sudah saatnya petugas menindak tegas para anggota geng motor. Mereka kian meresahkan warga. Kedua tersangka, ujar Hanafi, akan dijerat pasal 170 KUH Pidana tentang perkelahian lebih dari satu orang yang mengakibatkan kerusakan, serta pasal 460 KUH Pidana tentang pengeroyokan dan perusakan yang mengakibatkan orang lain luka. ”Ancaman hukumannya maksimal untuk pasal 170 adalah 5,5 tahun, sedangkan untuk pasal 460 maksimal 7 tahun penjara,” papar Hanafi. (A-128)***
STPDN Tempat Kuliahnya Para Preman
BERI OLEH-OLEH IBUNYA DENGAN GAJI PERTAMA
Sejarah Premanisme
Oleh: TM Hari Lelono
Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV di Cipanas, 1986, dibahas oleh Boechari (alm)seorang epigraf (tulisan kuna) tentang dunia perbanditan melalui data prasasti.
Fenomena kekerasan dalam masyarakat Jawa kuno dapat diketahui melalui kajian arkeologi dari sumber-sumber tertulis berupa prasasti, lontar, dan naskah-naskah. Adapun penggambaran dalam beberapa panil relief candi terdapat di Candi Mendut di Jawa Tengah serta Candi Surawana dan Rimbi di Jawa Timur.
Pemerintah kini sedang disibukkan oleh ulah para preman yang sering mengganggu ketenteraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat harus bekerja keras dan menumpas habis segala bentuk kejahatan. Namun, usaha itu akan sia-sia jika tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Gambaran ini juga terjadi pada masa pemerintahan kerajaan besar seperti Sriwijaya, Kediri, Singosari, dan Majapahit.
Pada masa Jawa kuno, serangkaian undang-undang dan hukum berupa pemberian sanksi yang keras diberlakukan tidak saja pada pelaku kejahatan, tetapi juga warga yang desanya sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Sanksi yang diberikan kepada desa-desa tersebut berupa denda dan pajak yang sangat memberatkan. Oleh karena itu, penduduk desa membuat pos-pos keamanan untuk meminimalisir kejahatan. Walaupun upaya itu telah dilakukan, masih sering terjadi karena faktor alam dan lingkungan berupa hutan lebat dan terisolirnya dari pusat pemerintahan.
Naskah-naskah hukum (awig-awig) banyak ditemukan di Bali dan ditulis dalam bahasa Jawa kuno dari masa pasca-Majapahit. Naskah yang ditulis dan diterjemahkan oleh para sastrawan tersebut diacu dari institusi kerajaan di India yang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan.
Dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum yang digunakan oleh para pejabat kehakiman dari masa klasik (Hindu-Buddha) tidak semuanya ditulis di atas logam, tembaga, atau perunggu karena tidak praktis dan terlalu berat. Biasanya ditulis di atas ripta berupa daun lontar atau karas. Setelah berpuluh-puluh tahun ripta tersebut dapat rusak dan disalin kembali serta dilakukan perubahan, penambahan, atau pengurangan pasal-pasal sesuai dengan perubahan bahasa dan perkembangan masyarakat.
Adanya naskah hukum tadi memberikan gambaran yang jelas bahwa masyarakat Jawa kuno bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tenteram, dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan.
Kejahatan dari masa ke masa
Sumber-sumber hukum yang tertulis dalam prasasti abad ke-9-10 Masehi di Jawa Tengah pada masa Dyah Balitung dan naskah pada masa pasca-Majapahit abad ke-13-15 Masehi memuat tentang hukum dan kerawanan-kerawanan yang pernah terjadi. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, prasasti Balingawan berangka tahun 891 M dari bahan batu yang ditulis berlanjut pada bagian belakang sebuah arca Ganesa (disimpan di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi sima (daerah perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat lantaran senantiasa harus membayar pajak denda atas rah kasawur (darah tersebar berceceran) dan wankay kabunan (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa kuno desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminal—walaupun peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya ditemukan di desa tersebut—maka desa yang bersangkutan (TKP) mendapat sanksi keras harus membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa semacam itu bisa terjadi? Hal tersebut berkaitan erat dengan sistem dan struktur pemerintahan desa yang bergantung pada hierarki pemerintahan di atasnya sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurang efektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan. Desa Balingawan menjadi sebuah sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.
Kedua, prasasti Mantyasih (907 M) yang ditulis dalam tiga versi berbeda, dua di antaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu, tetapi yang terlengkap yang ditulis di atas lempengan perunggu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan sima dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengerahkan rakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakan pesta perkawinan raja. Pada suatu ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh ulah para penjahat dan mereka tidak dapat mengatasinya. Kelima patih diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di jalan. Daerah ini pada masa Jawa kuno terletak di sekitar Gunung Susundara (Sundara) dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Jawa Tengah.
Ketiga, prasasti Kaladi (909 M). Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Isinya tentang pemberian sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan arapan yang memisahkan (desa-desa) itu menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.
Keempat, prasasti Sanguran (928 M). Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, di antaranya: wipati wankay kabunan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur in dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian?), tutan (mengejar lawan yang kalah?), danda kudanda (pukul-memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).
Kelima, naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan zaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat itu.
Hukum tersebut berisikan: tan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi utang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual-beli), wiwadanin pinanwaken mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, seperti ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Relief candi
Beberapa candi yang memuat adegan kekerasan dapat dilihat di Candi Mendut, Jawa Tengah, bercorak Buddhis. Pada tangga masuk di sisi selatan candi peninggalan abad ke-9-10 M itu terdapat panil relief yang menggambarkan dua figur, salah satunya memegang gada/parang (?), sedangkan figur yang satunya memegang alat semacam perisai.
Di Jawa Timur, panil-panil relief yang menggambarkan kekerasan dapat dilihat pada Candi Surawana (Pare, Kediri), merupakan peninggalan sekitar abad ke-14 M, bercorak keagamaan Buddhis. Pada bagian kaki candi sisi utara terlihat relief yang menggambarkan adegan kekerasan/perkelahian, yakni seorang tokoh sedang memilin kepala seseorang. Sementara pada Candi Rimbi di Bareng, Jombang, (peninggalan abad ke-13-14 M), pada bagian kaki candi, di sisi selatan, terdapat gambar dua pria sedang berkelahi di tengah hutan dengan menggunakan kain cancut.
Fenomena masyarakat Jawa kuno tentang dunia kekerasan tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Para penguasa pada masa itu sudah mengindahkan aturan-aturan dan nilai-nilai hidup yang harmonis berupa pandangan hidup berdasarkan kepercayaan/agama. Aturan-aturan tersebut disosialisasikan dengan cara pembuatan prasasti dan gambar-gambar pada relief candi yang sarat akan pesan-pesan moral dan etika, sebagai tuntunan hidup manusia.
Walaupun peraturan dengan segala sanksi hukum begitu kerasnya, bahkan desa-desa dalam wilayah kekuasaan kerajaan tertentu juga harus berperan aktif dalam menjaga ketertiban, tetapi masih sering terjadi tindak kekerasan. Apalagi jika penegakan hukum tidak diimbangi dengan disiplin dan dedikasi dari aparatur pemerintah beserta kesadaran seluruh masyarakatnya, niscaya tindak kekerasan masih sering terjadi di mana-mana, bahkan secara kualitas dan kuantitas semakin merebak di negeri ini.
TM Hari Lelono, Peneliti pada Balai Arkeologi Yogyakarta